Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).
Di dalam Alquran banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Di antara ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT yang artinya:
:Artinya
''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.'' (QS An Nisaa [4]: 114).
Hadis yang menganjurkan sedekah juga tidak sedikit jumlahnya.
Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir ada kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi wajib jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada seseorang atau lembaga.
Menurut fuqaha, sedekah dalam arti sadaqah at-tatawwu' berbeda dengan zakat. Sedekah lebih utama jika diberikan secara diam-diam dibandingkan diberikan secara terang-terangan dalam arti diberitahukan atau diberitakan kepada umum. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi SAW dari sahabat Abu Hurairah. Dalam hadits itu dijelaskan salah satu kelompok hamba Allah SWT yang mendapat naungan-Nya di hari kiamat kelak adalah seseorang yang memberi sedekah dengan tangan kanannya lalu ia sembunyikan seakan-akan tangan kirinya tidak tahu apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya tersebut.
Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang betul-betul sedang mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.'' (QS An Nisaa [4]: 114).
Hadis yang menganjurkan sedekah juga tidak sedikit jumlahnya.
Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir ada kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi wajib jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada seseorang atau lembaga.
Menurut fuqaha, sedekah dalam arti sadaqah at-tatawwu' berbeda dengan zakat. Sedekah lebih utama jika diberikan secara diam-diam dibandingkan diberikan secara terang-terangan dalam arti diberitahukan atau diberitakan kepada umum. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi SAW dari sahabat Abu Hurairah. Dalam hadits itu dijelaskan salah satu kelompok hamba Allah SWT yang mendapat naungan-Nya di hari kiamat kelak adalah seseorang yang memberi sedekah dengan tangan kanannya lalu ia sembunyikan seakan-akan tangan kirinya tidak tahu apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya tersebut.
Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang betul-betul sedang mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
Artinya:
''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai...'' (QS Ali Imran [3]: 92).
Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai...'' (QS Ali Imran [3]: 92).
Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima.'' (QS Al Baqarah [2]: 264)
HIBAH
1. PENGERTIAN HIBAH
Hibah,
huruf haa’ dikasrah dan baa’ difathah, adalah pemberian
seseorang akan hartanya kepada orang lain di masa hidupnya dengan cuma-cuma,
tanpa imbalan.
2. DORONGAN
MELAKUKAN HIBAH
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, Beliau
bersabda,
“Wahai
para wanita muslim, janganlah sekali-kali seorang tetangga perempuan merasa
hina memberikan kepada tetangganya yang perempuan, walaupun sekedar ujung kuku
kambing.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 197 no: 2566 dan
Muslim II: 714 no: 1030).
Juga darinya (Abu Hurairah ra), bahwa Nabi saw
bersabda,
“Saling
memberi hadiahlah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.”
(Hasan:
Shahibul Jami’us Shaghir no: 3004 dan Irwa-ul Ghalil 1601, Baihaqi VI: 169).
3. MENERIMA HIBAH
(PEMBERIAN) YANG SEDIKIT
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda,
“Kalau
aku diundang untuk menghadiri jamuan satu lengan (kambing), niscaya kuterima.”
(Shahih: Shahihul Jami’ no: 5268 dan Fathul Bari V: 199 no: 2568).
4. HADIAH YANG
TIDAK BOLEH DITOLAK
Dari ‘Azrah bin Tsabit al-Anshari, ia berkata, ”Saya
pernah datang menemui Tsumamah bin Abdullah, lalu ia memberi minyak wangi
kepadaku. Ia berkata, “Adalah Anas ra tidak pernah menolak (hadiah) minyak
wangi dan dari Anas bahwa Nabi saw tidak pernah menolak (hadiah) minyak wangi.”
(Shahih: Shahihul Tirmidzi no: 2240, Fathul Bari V: 209 no: 2582 dan Tirmidzi
IV: 195 no: 2941).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Ada tiga hal yang pemberiannya tidak boleh ditolak: (pertama) sandaran
(bantal), (kedua) minyak wangi, dan (ketiga) susu.” (Hasan: Shahih Tirmidzi no:
2241, dan Tirmidzi IV: 199 no: 2942).
5. MEMBALAS HIBAH
Dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw menerima
hadiah dan biasa membalasnya.” (Shahih: Fathul Bari V: 210 no: 2585, ’Aunul
Ma’bud IX: 451 no: 3519 dan Tirmidzi III: 227 no: 2019).
6. ORANG YANG
PALING UTAMA MENERIMA HADIAH
Dari Aisyah ra, ia berkata: Saya pernah
bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai dua tetangga, lalu
yang manakah yang kuberikan hadiah?” Jawab Beliau,
“Yang
pintunya lebih dekat kepadamu di antara mereka berdua.”
(Shahih:
Fathul Bari V: 219 no: 2595 dan ’Aunul Ma’bud XIV: 63 no: 5133).
Dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, bahwa Maimunah
binti al-Harits menginformasikan kepadanya bahwa ia (Maimunah) pernah
memerdekakan seorang budak perempuan yang dihamili tuannya tanpa seizin Nabi
saw. Kemudian tatkala tiba hari yang menjadi gilirannya (Maimunah bin
al-Harits) maka ia berkata, ”Ya Rasulullah, tidaklah engkau tahu bahwa saya
telah memerdekakan budak perempuanku.” Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya
kalau engkau berikan ia kepada paman-pamanmu, niscaya pahalamu lebih besar.”
(Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari V: 217 no: 2592, Muslim II: 694 no: 999, ‘Aunul Ma’bud V:
109 no: 1674).
7. PENGHARAMAN
SIKAP MENGUTAMAKAN SEBAGIAN ANAK DALAM HAL HIBAH
Dari Nu’man bin Basyir ia berkata: Ayahku pernah
menshadaqahkan sebagian hartanya kepadaku. Kemudian Ibuku, ’Amrah binti Rawahah
ra menyatakan, ”Aku tidak ridha (terhadap shadaqah ini) hingga engkau
mempersaksikan kepada Rasulullah saw.” Kemudian ayahku berangkat menemui
Rasulullah saw untuk mempersaksikan shadaqah yang kuterima ini kepadanya. Maka,
Rasulullah bertanya kepada ayahku: “Apakah engkau lakukan hal ini terhadap
seluruh anakmu?” Jawabnya, “Tidak.” Maka Rasulullah bersabda,
“Bertakwalah
kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.”
Kemudian ayahku kembali (pulang), lalu dia
membatalkan shadaqah itu. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah bersabda,
“Maka kalau begitu janganlah engkau menjadikan
diriku sebagai saksi; karena sesungguhnya aku tidak mau menjadi saksi atas
perbuatan yang sewenang-wenang.”
Dalam riwayat yang lain (lagi) disebutkan bahwa
Beliau bertanya,
“Apakah
kamu merasa senang apabila mereka (anak-anakmu) itu sama-sama bakti kepadamu?”
Dijawab, “Ya, tentu.” Maka Rasulullah bersabda, “Maka kalau begitu,
janganlah (kamu bersikap pilih kasih).”
(Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari V: 211 no: 2587, Muslim III: 1241 1623, ’Aunul Ma’bud IX:
457 no: 3525).
8. TIDAK HALAL
SESEORANG MENGAMBIL KEMBALI PEMBERIANNYA DAN TIDAK PULA MEMBELINYA
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda,
“Bagi
kita tidak ada perumpamaan yang lebih buruk (lagi) daripada orang yang
mengambil kembali pemberiannya, seperti anjing yang menelan kembali muntahnya.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 234 no: 2622 dan
ini lafadz bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1240 no: 1622, ’Aunul Ma’bud IX: 454
no: 3521, Tirmidzi II: 383 no: 1316 dan Nasa’i VI: 265).
Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, ia bercerita:
Saya pernah mendengar Umar bin Khattab ra berkata, “Saya pernah membelikan
(seseorang) perbekalan untuk jihad di jalan Allah yang diletakkan di atas
punggung kuda, lalu perbekalan tersebut dihilangkan kemudian saya bermaksud
hendak membelinya darinya, dan saya menduga ia akan menjualnya dengan harga
murah. Kemudian kutanyakan hal itu kepada Nabi saw, maka Rasulullah
menjawab,
“Janganlah
engkau beli barang itu, walaupun ia memberi kepadamu dengan (harga) satu
dirham, maka sesungguhnya orang yang menarik kembali shadaqahnya laksana anjing
menelan muntahnya.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 353 no: 1490,
Muslim III: 1239 no: 1620, Nasa’i V: 108, Tirmidzi meriwayatkan secara ringkas
II: 89 no: 663 dan ’Aunul Ma’bud IV: 483 no: 1578).
Pengecualian dari ketentuan di atas adalah pemberian
seorang ayah yang memberi kepada anaknya.
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra, keduanya
mengatakan hadits ini dari Nabi saw, Beliau bersabda,
“Tidak
halal bagi seorang laki-laki yang memberi sesuatu kemudian memintanya kembali,
melainkan seorang ayah menarik kembali pemberian yang ia berikan kepada
anaknya.”
(Shahih:
Shahihul Jami’us Shaghir no: 7655, ’Aunul Ma’bud IX: 455 no: 3522, Tirmidzi II:
383 no: 1316, Nasa’i VI: 265 dan Ibnu Majah II: 795 no: 2377).
Jika pihak diberi hadiah mengembalikannya, maka
tidak mengapa pihak pemberi hadiah mengambilnya kembali. Dari Aisyah ra, bahwa
Nabi saw pernah shalat pada sehelai kain yang bergaris-garis, lalu sekejap
Beliau melihat pada garis-garisnya. Tatkala usai shalat, Beliau bersabda,
“Bawalah
kain ini kepada Abi Jahm dan datangkanlah untukku kain tebal yang polos dari
Abi Jahm; karena sesungguhnya ia tadi (sempat) membuatku lalai dari shalatku.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 482 no: 373,
Muslim I: 391 no: 556, ’Aunul Ma’bud III: 182 no: 901 dan Nasa’i II: 72).
Dari Sha’b bin Jatsamah al-Laitsi -ia adalah salah
seorang sahabat Nabi saw-, bahwa ia pernah memberi hadiah kepada Rasulullah saw
berupa keledai liar di daerah Abwaa’ -atau di Waddan-. Kala itu Beliau sedang
berihram, lalu Beliau menolaknya. Sha’b berkata, “Ketika Beliau melihat (rasa
kesal) di wajahku karena Beliau mengembalikan hadiahku kepadaku,” maka Beliau
bersabda,
“Kami
benar-benar tidak layak menolak hadiahmu, namun kami dalam keadaan berihram.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV: 31 no: 1825, Muslim II: 850 no: 1193,
Tirmidzi II: 170 no: 851, Ibnu Majah II: 1032 no: 3090 dan Nasa’i V: 183).
9.
ORANG YANG BERSHADAQAH KEMUDIAN MEWARISINYA
Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ra,
katanya: Telah datang seorang perempuan kepada Nabi saw, lalu bertutur; “Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku telah menshadaqahkan budak perempuanku kepada
ibuku, namun (sekarang) dia telah meninggal dunia.” Jawab Beliau,
“Mudah-mudahan
Allah memberimu pahala, dan ia menjadi harta warisan bagimu.”
(Shahih: Shahih Tirmidzi no: 535, Muslim II: 805 no:
1149, Tirmidzi II: 89 no: 662 dan ‘Aunul Ma’bud VIII: 79 no: 2860).
10. APARAT
PEMERINTAH YANG MENERIMA HADIAH ADALAH GHULUL (PENGKHIANAT)
Dari Abi Humaid as-Saidi ra ia bercerita: Nabi saw
pernah mempekerjakan seorang sahabat dari (Bani) al-Azd, bernama Ibnul Utabiyah
untuk memungut zakat. Tatkala ia kembali (kepada Rasulullah saw), ia
berkata, “Ini untukmu dan ini hadiah yang dihadiahkan orang kepadaku.”
Kemudian Nabi saw segera naik mimbar, lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya,
kemudian bersabda,
“Pantaskah
seorang amil zakat yang kami kirim (untuk menarik zakat), lalu datang
(kepadaku) lantas berkata, ’Ini untukmu dan ini untukku.’ Mengapa ia tidak
duduk-duduk di rumah bapaknya dan ibunya, lalu ia memperhatikan, adakah orang
yang memberi hadiah kepada dirinya ataukah tidak ada? Demi Dzat yang diriku
berada dalam kekuasaan-Nya, ia tidak akan datang dengan membawa hasil pemberian
ilegal itu, melainkan ia akan datang pada hari kiamat dengan memikul barang itu
di lehernya. Jika ia berupa unta, maka unta itu melenguh; jika ia berupa sapi
betina, maka sapi tersebut menguak; jika ia berupa kambing, maka ia mengembek.”
Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga kami
melihat bulu ketiaknya, lalu Beliau bersabda (lagi),
“Ingatlah,
aku telah menyampaikan, tiga kali.” (Muttafaqun’alaih:
Fathul Bari XIII: 164 no: 7174, Muslim III: 1463 no: 1832 dan ’Aunul Ma’bud
VIII: 162 no: 2930).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz
Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.
Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 715 – 722
HADIAH
DEFINISI
Hadiah
adalah pemberian suatu barang dari pemiliknya kepada orang lain tanpa disertai
imbalan. Tujuan hadiah adalah untuk mengikat atau menimbulkan rasa kasih sayang
antara pemberi dan penerima hadiah
ANJURAN
ISLAM UNTUK MEMBERI HADIAH
Dari
Sahabat mulia Abu Hurairah Radhiallahu anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَحاَدُوا
تَحاَبُّوا
Hendaklah
kalian saling memberi hadiah maka kalian akan saling mencintai
Hadits
diatas merupakan bukti bahwa pemberian hadiah adalah bagian dari syariat islam.
Bahkan melakukannya dapat mendatangkan pahala dan menimbulkan kasih sayang
diantara kaum muslimin. Padahal jika suatu kaum telah saling menyayangi
maka persatuan diantara mereka otomatis akan menguat. Padahal persatuan sesama
kaum muslimin merupakan sebuah kewajiban yang telah Allah tetapkan.
Akan
tetapi perlu diingat. Memberi hadiah hukumnya dianjurkan selama tidak
menimbulkan salah faham yang berujung maksiat. Seperti pemberian bingkisan dari
seorang pria kepada wanita yang bukan mahramnya. Jika terjadi maka hal ini
menimbulkan tanda tanya bagi wanita tersebut. bahkan bisa berujung pada
pacaran. Sebuah jalinan cinta yang Allah haramkan dalam Al Qur’an. Dalil
larangan pemberian hadiah jika menjerumuskan kedalam fitnah sebagai berikut:
لاَ
ضَرَرَ ولاَضِرَارَ
MENERIMA
HADIAH MESKIPUN SEDIKIT
Islam
mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghargai orang lain termasuk dalam
perkara pemberian hadiah. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam mengajarkan kaum muslimin untuk menerima pemberian hadiah dari orang
lain mekipun sedikit atau berupa hal-hal yang kurang berharga.
Beliau
shallallahu alaihi sallam bersabda (artinya): andai saya diundang untuk
menikmati jamuan berupa satu lengan (kambing) atau jamuan satu betis (kambing)
niscaya akan saya datangi jamuan tersebut. begitupula jika saya diberi hadiah
berupa satu lengan atau betis kambing niscaya kuterima hadiah tersebut
Betis dan
lengan yang disebutkan diatas hanyalah permisalan terhadap hal-hal yang sepele,
sedikit atau kurang berharga meskipun demikian Rasulullah tetap menerimanya
dengan baik. Sebagai seorang yang mengaku cinta beliau sudah sepatutnya
perilaku tersebut kita ikuti agar kita diberi pahala. Pahala atas perbuatan
kita meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
MENOLAK
HADIAH YANG DIBENCI
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): ada 3 hal yang
pemberiannya tidak ditolak. minyak wangi, bantal, dan susu
Disebutkan
pula dalam sebuah riwayat bahwa sahabat Anas bin Malik Radhiallahu anhu tidak
menolak pemberian hadiah berupa minyak wangi berdasarkan contoh dari Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
Berdasarkan
2 dalil diatas maka makruh menolak pemberian hadiah berupa minyak wangi, bantal
dan susu
MEMBALAS
PEMBERIAN HADIAH
Aisyah
Radhiallahu anhaa berkata (artinya): Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
jika menerima hadiah maka beliau membalas pemberian hadiah tersebut
SIAPAKAH
YANG PALING BERHAK MENERIMA HADIAH
Aisyah
Radhiallahu anhaa berkata, “wahai Rasulullah sesungguhnya saya punya 2
tetangga, manakah diantara kedua tetangga tersebut yang paling berhak aku saya
berikan hadiah?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
berilah hadiah pada tetangga yang rumahnya paling dekat dengan rumahmu
Hadits ini
mengajarkan bahwa orang-orang yang paling berhak diberikan hadiah adalah
tetangga terdekat. Serupa dalam hal ini dalam kaitanya siapakah diantara
keluarga besar yang paling didahulukan dan diutamakan dihadiahi. Maka
jawabannya adalah mereka-mereka yang paling dekat hubungan kekerabatanya
LARANGAN
BERSIKAP TIDAK ADIL DALAM PEMBERIAN HADIAH KEPADA ANAK-ANAK
Nu’man bin
Basyir Radhiallahu anhumma berkata: ayah memberi hadiah kepadaku dari
sebagian hartanya. Melihat hal itu ibu (Amrah binti Rawahah Radhiallahaa)
berkata: “aku tidak ridho dengan pemberianmu terhadap nu’man sampai
engkau mempersaksikan hal ini kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam!”
Ayah pun pergi menemui Nabi untuk meminta pertimbangan mengenai perbuatannya
memberi hadiah kepadaku. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lantas berkata
kepada ayah. “Apa engkau juga memberi hadiah kepada anak-anakmu yang lain ?”.
“tidak” jawab ayah. Lalu Rasulullah bersabda: “bertaqwalah kepada Allah dan
bersikap adillah terhadap anak-anakmu!” sesudah mendengar perintah Rasulullah ayah
pulang kemudian mengambil kembali hadiah dariku
Perlu
diketahui bahwa pengertian adil bukanlah sama rata sama rasa. Akan tetapi adil
adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika dikaitkan dalam konteks
pemberian hadiah adalah memberikan hadiah kepada masing-masing anak sesuai usia
dan keperluannya.
Contoh
keadilan dalam pemberian hadiah kepada anak-anak adalah sebagai berikut: Abu
Hafsah punya 2 anak, hafsah dan Abdurrahman. Hafsah berusia 10 tahun dan duduk
di bangku kelas 5 home schooling. Sedangkan Abdurrahman belum genap 4 tahun
umurnya dan baru masuk Raudhatul Athfal home scholing. Maka Abu Hafsah dapat
dikatakan adil ketika membelikan buku bertemakan alam kepada Hafsah adapun
Abdurrahman dibelikan buku belajar menulis.
0 komentar:
Posting Komentar