Pemberontakan dipimpin seorang ulama
muda Tengku Abdul Jalil, guru mengaji di Cot Plieng Lhokseumawe. Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil,
sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang
melaksanakan salat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat
berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk
kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan
oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar
masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan
diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang salat.
Perlawanan fisik ini terjadi di
pesantren Sukamanah Singaparna Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Beliau menolak dengan tegas ajaran yang berbau
Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi
penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah
matahari terbit. Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam
Indonesia karena termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu
beliaupun tidak tahan melihat penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
Saat utusan Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah
mempersiapkan para santrinya yang telah dibekali ilmu beladiri untuk mengepung
dan mengeroyok tentara Jepang, yang akhirnya mundur ke Tasikmalaya.
Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan sebagai upaya
untuk mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari 1944,
terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah salat
Jumat. Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan, namun KH. Zainal
Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya kemudian dibawah ke Jakarta
untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol.
Peristiwa Indramayu terjadi bulan
April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban menyetorkan sebagian hasil
padi dan pelaksanaan kerja rodi/kerja paksa/Romusha yang telah mengakibatkan
penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyan dan
kawan-kawan di desa Karang Ampel, Sindang Kabupaten Indramayu.
Pasukan Jepang sengaja bertindak kejam terhadap rakyat di
kedua wilayah (Lohbener dan Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak
setelah mengetahi kekejaman yang dilakukan pada setiap pemberontakan.
Teuku Hamid adalah seorang perwira Giyugun,
bersama dengan satu pleton pasukannya melarikan diri ke hutan untuk melakukan
perlawanan. Ini terjadi pada bulan November 1944.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Jepang melakukan
ancaman akan membunuh para keluarga pemberontak jika tidak mau menyerah.
Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan pemberontak menyerah, sehingga
akhirnya dapat ditumpas.
Di daerah Aceh lainnya timbul pula upaya perlawanan rakyat seperti di
Kabupaten Berenaih yang dipimpin oleh kepala kampung dan dibantu oleh satu regu
Giyugun (perwira tentara sukarela), namun semua berakhir dengan kondisi yang
sama yakni berhasil ditumpas oleh kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam.
5.
Pemberontakan Peta
- Perlawanan PETA di Blitar (29 Februari 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh
Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan
karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara
paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang
tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih
militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia.
Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi
dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang),
pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira
PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco
Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira
Gyugun Teuku Hamid. Latar belakang perlawanan ini karena sikap Jepang yang
angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit Indonesia pada
khususnya.
- Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap (April 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh
pemimpin regu (Bundanco) Kusaeri bersama rekan-rekannya. Perlawanan yang
direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945 diketahui Jepang sehingga Kusaeri
ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak
terlaksana karena Jepang terdesak oleh Sekutu.
6.
Perlawanan Pang Suma
Perlawanan Rakyat yg dipimpin oleh
Pang Suma berkobar di Kalimantan Selatan. Pang Suma adalah pemimpin suku Dayak yg besar pengaruhnya dikalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau.
Perlawanan ini bersifat gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di Kalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan
seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu di antara sekitar 130
pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai
sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan
Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di
daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau).
Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma.
Perlawanan ini dipimpin oleh L.
Rumkorem, pimpinan Gerakan “Koreri” yang berpusat di Biak. Perlawanan ini
dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sebagai budak
belian, dipukuli, dan dianiaya. Dalam perlawanan tersebut rakyat banyak jatuh
korban, tetapi rakyat melawan dengan gigih. Akhirnya Jepang meninggalkan Pulau
Biak.
Perlawanan ini dipimpin oleh Nimrod.
Ketika Sekutu sudah mendekat maka memberi bantuan senjata kepada pejuang
sehingga perlawanan semakin seru. Nimrod dihukum pancung oleh Jepang untuk
menakut-nakuti rakyat. Tetapi rakyat tidak takut dan muncullah seorang pemimpin
gerilya yakni S. Papare.
Perlawanan ini dipimpin oleh Simson.
Dalam perlawanan rakyat di Papua, terjadi hubungan kerja sama antara gerilyawan
dengan pasukan penyusup Sekutu sehingga rakyat mendapatkan modal senjata dari
Sekutu.
10.
Gerakan bawah tanah
Sebenarnya bentuk perlawanan
terhadap pemerintah Jepang yang dilakukan rakyat Indonesia tidak hanya terbatas
pada bentuk perlawanan fisik saja tetapi Anda dapat pula melihat betnuk
perlawanan lain/gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan oleh:
- Kelompok Sutan Syahrir di daerah Jakarta dan Jawa Barat dengan cara menyamar sebagai pedagang nanas di Sindanglaya.
- Kelompok Sukarni, Adam Malik dan Pandu Wiguna. Mereka berhasil menyusup sebagai pegawai kantor pusat propaganda Jepang Sendenbu (sekarang kantor berita Antara).
- Kelompok Syarif Thayeb, Eri Sudewo dan Chairul Saleh. Mereka adalah kelompok mahasiswa dan pelajar.
- Kelompok Mr. Achmad Subardjo, Sudiro dan Wikana. Mereka adalah kelompok gerakan Kaigun (AL) Jepang.
Mereka yang tergabung dalam kelompok di bawah tanah,
berusaha untuk mencari informasi dan peluang untuk bisa melihat kelemahan
pasukan militer Jepang dan usaha mereka akan dapat Anda lihat hasilnya pada
saat Jepang telah kalah dari Sekutu, kelompok pemudalah yang lebih cepat dapat
informasi tersebut serta merekalah yang akhirnya mendesak golongan tua untuk
secepatnya melakukn proklamasi.
Demikianlah gambaran tentang aktifitas pergerakan Nasional
yang dilakukan oleh kelompok organisasi maupun gerakan sosial pada masa
pemerintah pendudukan Jepang, tentu Anda dapat memahami sebab-sebab kegagalan
dan mengapa para tokoh pergerakan lebih memilih sikap kooperatif menghadapi
pemerintahan militer Jepang yang sangat ganas/kejam.
Lengkap,kalau bisa di kasih animasi
BalasHapusanimasi apa yaa?
BalasHapus